“Who Wants to be an Entrepreneur” di Australia bersama Helmy Yahya

Image

Sang maestro, Helmy Yahya, tak lama lagi menyapa Australia. Tak tanggung-tanggung, tiga kota akan disambangi: Melbourne, Canberra, dan Sydney.

Kunjungan Helmy ke Australia bukan dalam konteks wisata. Tepatnya, ia akan memberikan kuliah umum mengenai entrepeneurship. Kewirausahaan. Ia akan menantang kita untuk menjadi entrepreneur. “Who wants to be an entrepreneur?”

Sosok Helmy Yahya jelas sudah dikenal luas di publik. Jadi mungkin seperti menggarami laut jika melalui tulisan ini sosok tersebut ditulis kembali. Lagipula, siapa juga saya yang bisa menceritakan siapa dia.

Namun, perjalanan di satu mobil dengan Helmy Yahya suatu hari di bulan Agustus tahun lalu masih terngiang di ingatan saya. Singkat cerita, saya berkesempatan ngobrol panjang lebar dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bandung. Tujuan akhir kami sebetulnya berbeda. Namun karena ada yang perlu didiskusikan, akhirnya jadi berbincang banyak hal (juga dengan seorang rekan bisnis Helmy lainnya).

***

Image

Dalam perjalanan 3-4 jam tersebut, banyak hal yang bisa dipelajari dari seorang Helmy:

Semangatnya? Mungkin sulit dilukiskan dengan kata. Hidup susah di masa kecil membuat dirinya menjadi pribadi pejuang yang kelak menorehkan banyak prestasi.

Prinsip hidupnya? Ia berusaha untuk terus berkarya, memberikan sesuatu bagi masyarakat.

Kebahagiaan? Keluarga tetap menjadi sumber kebahagiaan, walau kontribusi bagi masyarakat juga memberikan kebahagiaan tersendiri.

Cita-cita? Nanti silahkan tanya sendiri kepada beliau yaaa:).

***

Terkait entrepreneurship, Helmy merupakan sosok yang kenyang pengalaman. Proses bisnis yang naik turun pernah ia alami. Menghadapi para penipu pun tak jarang ia alami.

Karena itu pula ia sedang berikhtiar menulis beberapa buku entrepreneurship, salah satunya berjudul “Business Soulmate”. Tepatnya, ia ingin berbagi mengenai kiat mencari rekan bisnis.

Helmy juga terus bersemangat membagi virus entrepreneurship kepada banyak pihak. Ia, misalnya, dikontrak sebuah perusahaan multinasional untuk memotivasi ribuan karyawannya agar memiliki jiwa entrepreneurship. Jika kita mengikuti linimasa di akun twitter @helmyyahya, terlihat sekali betapa membekas bakaran semangat yang dikobarkan Helmy.

Karenanya, saatnya bagi kita, apapun profesi dan semangat yang dimiliki, untuk belajar lebih jauh dari seorang Helmy. Di Melbourne, kuliahnya bertempat di KJRI, 28 Juli. Di Canberra bertempat di kampus ANU, 30 Juli. Dan di Sydney ia akan menggetarkan KJRI, 1 Agustus.

Selamat dan terima kasih kepada PPIA ANU, serta PPIA lainnya di Melbourne dan Sydney, atas inisiatif dan kerja kerasnya. Your contribution to Indonesia is worth mentioning.

Salam entrepreneurship. ***

(photo: PPIA ANU; detikhot.com)

Asma nadia: Niat, Semangat, Berbagi (3)

Image

Setelah beberapa kali bertukar email, Asma Nadia akhirnya tiba di Swiss. Sudah disepakati tanggal berapa Asma berkenan memberikan pesan singkat di hadapan jamaah iftar (buka puasa) masyarakat Indonesia/muslim di Jenewa. Sudah disepakati pula tanggal berapa lokakarya menulis bagi masyarakat Indonesia.

Saya bertugas menjemput Asma di lokasi ‘writers camp’nya: Le Chateau De Lavigny, Morges. Sebagai ilustrasi, jangankan bagi pembaca umum, bagi masyarakat Indonesia di Swiss pun mungkin tidak banyak yang mengetahui apa dan dimana Le Chateau De Lavigny tersebut.

Ketika menuju ke sana, sekalipun menggunakan GPS (global positioning system), saya sempat kesasar juga. Intinya, Chateau tersebut amat sangat terpencil. Sunyi, di daerah yang jumlah penduduknya sedikit saja.

Setelah menempuh perjalanan dari Jenewa sekitar 40 menit, dengan jalan yang lumayan berkelak-kelok, tibalah saya di Le Chateau De Lavigny. Senyaaap. Untunglah tak lama setelah tiba di tempat, Asma langsung muncul. Subhanallah, penulis handal ini ternyata sangat ramah dan rendah hati. Lebih hebat lagi, semangatnya sungguh luar biasa. Sepanjang jalan ia bercerita tentang proses mendapatkan kesempatan bergabung di ‘writers camp’ di Le Chateau De Lavigny, yang notabene salah satu momen prestisius bagi para penulis profesional mancanegara.

Saya yang kebetulan suka menulis (tapi belum sehebat Asma:)) jadi sekalian belajar secara tidak langsung dengan sang maestro. Dari pembicaraan singkat dalam perjalanan menuju Jenewa tersebut, saya melihat setidaknya ada tiga hal yang menjadikan Asma begitu produktif dan bahkan berpengaruh.

Pertama, Asma mempunyai niat yang tulus. Ia menulis karena ibadah. Ia ingin menyebar kebaikan. Karenanya, ia berusaha menulis dengan kesan dan pesan yang menyerukan kepada kebaikan.

Kedua, Asma memiliki semangat yang luar biasa. Kepergiannya ke Morges, Swiss tentu peluang tak ternilai. Di sisi lain, ia pun terpaksa mengorbankan kebersamaan bersama suami dan anak-anak tercinta. Tidak saja demi karir dan keluarganya sendiri. Dia pun ingin meningkatkan citra penulis Indonesia. Padahal, secara finansial, mungkin tidak terlalu banyak yang ia peroleh dengan bergabung ke writers camp tersebut.

Ketiga, di sela-sela kesibukannya untuk menulis dan menulis selama writers camp, Asma berusaha menyempatkan berbagi ilmu (melalui lokakarya dan berbagi pesan), tanpa minta imbalan, kepada siapapun yang berminat.

Usai ‘pembelajaran singkat’ tersebut, akhirnya kami tiba di PTRI Jenewa. Masyarakat Indonesia yang sudah memenuhi ruangan mungkin sudah tak sabar mendengarkan pesan dari sang maestro.

Ceritanya disambung minggu depan yaaa.:)

***

(Catatan: Bagian (1) dan (2) tulisan ini dapat dilihat pada http://yasmiadriansyah.com/2012/05/15/asma-nadia-niat-semangat-berbagi-1/); http://yasmiadriansyah.com/2012/05/22/asma-nadia-niat-semangat-berbagi-2/)

(Foto: anadia.multiply.com)

Tembang Cilik (1): Bintang Kecil

 

Di tanah air, film musikal anak-anak bertajuk ‘Ambilkan Bulan Bu’ diberitakan mulai menarik perhatian. Sejumlah tokoh nasional, seperti Helmy Yahya, turut menjadi promotor dari film ini.

Pesan yang ingin disampaikan adalah kiranya anak-anak Indonesia tak perlu, misalnya, ber-Justine Bieber. Karena khasanah lagu anak-anak Indonesia sejatinya cukup banyak. Bahkan liriknya pun sangat bagus. Penuh rasa cinta khas anak-anak, kepada Tuhan, alam ataupun sesama.

Akhir pekan ini, tak ada salahnya kita, para orangtua, mengajak para buah hati bernyanyi. Kali ini, coba klik lagu Bintang Kecil, dan ajaklah buah hati tercinta bernyanyi:

http://www.youtube.com/user/tembangcilik?feature=results_main

Bintang kecil, di langit yang tinggi
Amat banyak, menghias angkasa
Aku ingin, terbang dan menari
jauh tinggi ke tempat kau berada

Satu hal yang penting. Jangan lupa menghargai hak cipta lagu dan ‘hak terkait’ para seniman-seniwati yang merekam lagu-lagu ini. Miranti (http://yasmiadriansyah.com/2012/04/25/miranti-aisyah-kebahagiaan-indonesia-lewat-piano/), Kang Gusman, Bung Inoeg dst adalah para pahlawan lagu-lagu anak tersebut.

Selamat bernyanyi.

 

Asma Nadia: Niat, Semangat, Berbagi (2)

Image

Jenewa, Swiss, Juli (atau Agustus?) 2009. Sebuah email masuk ke akun saya. Nama sang pengirim agak-agak janggal terbaca. Bukan tidak dikenal, melainkan justru nama yang sangat dikenal publik Indonesia. Email tersebut datang dari Asma Nadia, ditujukan kepada saya, seorang staf biasa. (Kebetulan saat itu saya sedang bertugas di Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa).

Intinya, Asma menyampaikan bahwa ia akan berkunjung ke Swiss dalam sebuah kegiatan semacam ‘writers camp’. “Kita akan tinggal beberapa minggu di Le Chateau De Lavigny, Morges,” ujar Asma.

Adapun yang menggugah adalah ketika Asma menawarkan untuk memberikan lokakarya pelatihan menulis bagi staf PTRI dan masyarakat Indonesia. Dalam hati saya, untuk dapat berkenalan dengan seorang Asma saja pasti akan membawa kebahagiaan bagi mereka. Nah, sekarang, malah dapat tawaran lokakarya. Siapa yang bisa menolak?

Setelah berkonsultasi dengan pimpinan, penawaran Asma langsung diterima dengan baik. Bahkan Asma ditawari untuk memberikan semacam ‘sambutan singkat’ di salah satu acara berbuka puasa di Jenewa.

Pucuk dicinta alam tiba. Semua bahagia. Ternyata, dengan hanya berawal dari sebuah email yang rendah hati dari seorang Asma, silaturahmi telah terjalin. Banyak yang belajar, banyak yang diberdayakan.

Semua bermula dari niat Asma untuk berbagi.

(Bersambung) 

(Catatan: Bagian (1) tulisan ini dapat dilihat pada http://yasmiadriansyah.com/2012/05/15/asma-nadia-niat-semangat-berbagi-1/)

Jaya Suprana di Australia

Budayawan multilatenta, Jaya Suprana, hari ini bertandang ke Canberra.

Pada Senin, pukul 6pm – 7.30pm, di KBRI Canberra, ia dijadwalkan memberikan penghargaan rekor MURI kepada KBRI dan Panitia Hardiknas 2012 di Australia, sebuah kepanitiaan yang terdiri dari para mahasiswa dan penggerak sosial. Rekor MURI yang diberikan: Rangkaian Perayaan Hardiknas Terpanjang di Luar Negeri.

Jaya Suprana juga dijadwalkan memberikan talk show. Selaku figur yang pernah menjadi presenter kondang melalui Jaya Suprana Show, talk show-nya pasti menarik.

Ia juga diharapkan berkenan memainkan komposisi pianonya yang terkenal orisinil, khususnya dengan nada pentatonis ciri khas instrumen musik tradisional Indonesia.

Lebih jauh lagi, kabarnya ia akan memberikan beberapa tiket gratis bagi warga Indonesia yang hadir di acara malam ini. Tiket gratis menonton konser seorang prodigy piano dari Indonesia, Jesslyn Julia Gunawan (15 tahun), pada tanggal 24 Mei ini di Sydney Opera House.

Jadi, tunggu apa lagi.

Sampai bertemu dengan Jaya Suprana, malam ini.

Image

***

Jaya Suprana

From Wikipedia, the free encyclopedia
Jump to: navigation, search

Jaya Suprana, born Liauw Kok Tjiang (born January 27, 1949), is an Indonesian composer, pianist, businessman, and television presenter.

Suprana was born in Denpasar, Bali and was adopted as a child by Lambang and Lily Suprana; he is of Chinese descent but grew up within Javanese culture. He is married to Julia Suprana but has since separated from her and has no biological children. He studied music at Musikhochschule Muenster and Folkwang-Hochschule Essen, West Germany, between 1967 and 1976, and since then has given piano recitals worldwide, as well as composing his own music. He also presents his own national weekly talkshow called the Jaya Suprana Show.

He has been President Director of PT Jamu Jago, one of Indonesia’s largest manufacturers of herbal medicine, since 1983, having worked there as Marketing Director since 1976. Apart from his business and musical activities, he established the Indonesian Museum of Records (MURI) on January 27, 1990, and is its director. He also founded an orphanage, Panti Asuhan Rotary-Suprana.

Suprana claims a PhD degree in philosophy and social sciences from the unaccredited Pacific Western University. He is also the chief commissioner of his family-run medicinal herbs producing firm, PT Jamu Cap Jago, in the Central Java capital of Semarang.[1]

He tours with the group Kwartet Punakawan [2]

He promoted Kelirumology – finding facts from false myths, in humorous way.

[edit] References

  1. ^ Basrie, K. (April 3, 1997) Jakarta Post Humorist Jaya Suprana releases book on notorious errors. Features section, page 7.
  2. ^ Wedd, Cynthia (August 06, 2006). Jaya Suprana takes Brisbane crowd on musical tour.

Lokakarya angklung bagi ‘duta-duta muda’ Australia

Image

Suasana meriah terpancar pada pagi ini di Holy Primary School di Australian Capital Territory (ACT). Keceriaan tersebut dipicu oleh ritmik dinamis nada angklung serta harmoni yang telah dikreasikannya.

Pada hari ini, lebih dari 80 anak (dari kelas yang berbeda-beda), secara bergiliran dalam tiga kelompok, telah belajar memainkan angklung melalui sebuah lokakarya.

Kegiatan tersebut diinisiasi oleh Ibu Arika Bassett, seorang pengajar Bahasa Indonesia yang telah puluhan tahun mendedikasikan diri di berbagai sekolah di Australia. Tawaran Ibu Arika disambut hangat oleh Duta Angklung, khususnya trio penggerak kelompok angklung Awivadya yang baru terbentuk di Canberra: Eris Sugiatna (konduktor), Miranti Puti Aisyah (aranjer), dan saya (jubir Komunitas Duta Budaya Indonesia, merangkap ‘pengawal’ kibor:)).

Dalam setiap sesi yang masing-masing berdurasi sekitar 40 menit, sekumpulan anak-anak berusia kelas 4 SD dengan riang memainkan Twinkle-Twinkle Little Star, Old Mac Donald Had a Farm, atau bahkan Cicak-cicak di Dinding. Sebagian turut bernyanyi, termasuk untuk si ‘Cicak’. Bahkan ada juga yang berjoget, layaknya memperlakukan angklung sebagai ‘pasangan dansa’.

Urutan lokakarya dari kami sederhana saja. Pertama, saya memperkenalkan tim dan bagaimana konsep permainan angklung secara umum. Kedua, pak konduktor masuk ke detail lagu, termasuk memainkan harmonisasi akor. Ketiga, ibu aranjer dengan sabar menangani kesulitan anak-anak secara ‘one-to-one‘ .

Momen paling seru ketika sesi tanya jawab, di penghujung acara. “Bagaimana dan berapa lama angklung dibuat?”; “Berapa lama perlu berlatih untuk menjadi ahli?”; atau bahkan “Berapa lama jarak tempuh penerbangan antara Indonesia – Australia?” adalah sebagian pertanyaan anak-anak tersebut. Tentu saja ‘trio instruktur’ dengan senang hati menjawab dan berdialog dengan mereka.

Pengalaman lokakarya ini sangatlah menyenangkan. Tidak saja apresiasi dari pihak sekolah yang sangat baik, atau budaya Indonesia yang semakin terpromosikan, namun tawa dan keceriaan anak-anak tersebut telah memberikan kebahagiaan tersendiri. Bagi para guru, kami selaku instruktur, dan mungkin bahkan bagi mereka sendiri, ‘duta-duta muda’ angklung di benua Australia. Mereka bahkan merencanakan tampil, dengan lagu-lagu yang baru saja diajarkan.

Selamat berkarya kepada para ‘duta muda’ angklung. Buatlah Indonesia semakin bangga dengan kreativitas Anda. ***

Asma Nadia: Niat, Semangat, Berbagi (1)

Image

Pembaca yang budiman,

Para penyimak dunia baca, penulis, pencinta sastra, atau bahkan segmen lainnya, pasti tidak sedikit yang telah yang mengenal Asma Nadia. Setidaknya dari tulisan, ‘twitografi’, atau profil-profil yang disampaikan media.

Ia memang seorang yang produktif dalam menghasilkan kata. Ia pun sangat aktif dalam mempromosikan pentingnya membaca, menulis, atau bahkan menerbitkan buku. (Salah satu tulisannya di kolom resonansi Republika berjudul unik: Satu Buku Sebelum Mati).

Asma Nadia bisa dikatakan tergolong fenomenal. Muda, aktif berkarya, dan terus berbagi.

Di sisi lain, alhamdulillah, komunitas penulis, pembaca karya, atau bahkan penggemar:) Asma di Australia sedang dalam proses mendatangkan dia. Untuk sebuah lokakarya menulis, bedah buku, atau bahkan nonton bareng. Intinya, menyemangati sahabat-sahabat yang ada di benua kangguru.

Sebagai informasi, Asma adalah anggota kehormatan (nasional) dari Komunitas Duta Budaya Indonesia (KDBI) yang belum lama ini diluncurkan di Australia (http://oase.kompas.com/read/2012/05/03/13132863/Duta.Budaya.Indonesia.Diluncurkan.di.Australia).

***

Saya beruntung mengenal Asma dan Mas Isa (suaminya, yang juga hebat:)) dalam kesempatan tak terduga. Mereka bahkan pernah tinggal di apartemen sederhana kami, tatkala saya dan keluarga bekerja dan berdomisili di Jenewa, Swiss.

Image

Dari perkenalan tersebut, setidaknya ada satu pelajaran menarik dari seorang Asma. Di luar kemampuan menulisnya yang memang super cepat (nanti saya ceritakan betapa cepatnya hentakan jemari Asma di tuts notebook), kelebihan Asma adalah hasil dari gabungan, diantaranya: niat, semangat, dan keinginan untuk terus berbagi.

Tulisan ini merupakan pengantar bagi tulisan lanjutan mengenai Asma. Direncanakan, setiap satu minggu tulisan tersebut akan menyapa Anda, pembaca yang budiman.

Perlu digarisbawahi, tulisan ini lebih merupakan persepsi saya mengenai siapa Asma Nadia. Bisa jadi tidak menggambarkan apa adanya. Namun bisa jadi Asma jauh melebihi dari apa yang bisa saya kisahkan.

Semoga menginspirasi, bagi Indonesia tercinta. ***

(foto: rumahbacaasmanadia.com; isaalamsyah.com)

Astri Nugraha: Pengibar kuliner nusantara di dunia maya

Image

Jika ada situs internet mengenai resep kuliner nusantara yang berkibar gagah di google, mungkin banyak yang akan menunjuk kepada situs ‘http://www.resepnugraha.net/‘. Konon, ada banyak para pencinta masakan nusantara, termasuk para pemula, yang kemudian menjadi ahli memasak setelah melihat situs tersebut. Luar biasa.

Sang pemilik situs, Astri Nugraha, ternyata seorang yang terbilang sederhana. Rendah hati bahkan. Namun, tanpa disadari atau tidak, ia telah mempromosikan cita rasa dan keanekaan masakan nusantara. Ia telah menjadi duta kuliner Indonesia melalui dunia maya.

Situs websitenya harus diakui sangatlah menarik. Tidak saja tampilan gambar dan saran memasak yang dibagi, namun terdapat ratusan bahkan mungkin ribuan resep masakan Indonesia.

Tidak salah jika Astri sangat dikenal, baik di ‘jagat daratan’, di Australia, tempat ia tinggal bersama keluarga tercinta, dan tentu saja di jagat maya. Bahkan ada yang menyebut dirinya ‘selebriti dunia maya’.

Beruntung saya bisa ‘memaksa’ sang ‘selebriti’ untuk bercerita, bagaimana ia bisa menjadi seperti ini.

Astri masih mengingat jelas kata-kata ayahnya saat dia masih di bangku kuliah, “Kowe dadi arek wedok kudu pinter masak. Paling gampang masako sop wae, tinggal cemplung-cemplung wis dadi.” (Kalau diterjemahkan bebas kira-kira seperti ini, “Kamu jadi anak perempuan musti pintar masak. Masak sop aja yang paling gampang, tinggal cemplung-cemplung, beres deh.”)

Ternyata, siapa yang pernah menyangka, Astri yang dulunya sangat anti dapur, saat ini hampir tak pernah menghabiskan hari-hari tanpa memasak, bahkan saat liburan sekalipun.

Namun tentu saja semuanya tidak terjadi tiba-tiba. Semuanya bermula saat Astri masih di bangku kuliah semester akhir, kira-kira di awal 1998. Saat itu krisis moneter mulai melanda. Biaya tugas akhir yang tidak sedikit akhirnya memaksa dia untuk mengakali kondisi supaya dia bisa tetap makan enak.

“Mau langganan katering? Selain aku cepat bosan, harganya juga semakin mahal,” ujar Astri. Akhirnya ia pergi ke pasar. Ia pun mulai belajar masak yang sederhana dulu, tumis-tumisan ataupun sop yang simpel. Pokoknya, selagi tidak perlu mixer dan cobek, kegiatan memasak tetap berjalan. Dan satu lagi, asal bahannya tidak lebih dari lima macam, ia akan pantang mundur.

Kegemaran Astri memasak otomatis berlanjut saat ia menikah sekitar 1,5 tahun kemudian. Terlebih lagi, hanya selang dua bulan, ia ikut suami ke Australia. Tidak adanya kegiatan yang terlalu padat (kecuali mengurus suami tentunya) di bulan-bulan pertama, membuat ia semakin terlena alias menikmati dunia dapur. Ditambah lagi, suaminya termasuk yang doyan makan.

Seiring waktu, alhamdulillah keahlian Astri memasak semakin meningkat, sampai akhirnya ia mulai percaya diri menawarkan hasil masakan ke teman-teman. Hal ini tentu saja tidak tanpa proses. Dulu, sejak keluarga kecil mereka masih tinggal di Gosford-Sydney, Astri sudah lumayan sering mengundang teman-teman datang ke rumah untuk pesta ataupun hanya sekedar makan siang. Terlebih lagi, saat itu mereka belum dikarunia buah hati.

Sampai akhirnya pada tahun 2006 hijrah ke Canberra, kebiasaan Astri pun berlanjut, meskipun jumlah ‘pasukan kecil’nya sudah bertambah dua. Lama-kelamaan, teman-teman menyarankan dirinya menjual hasil masakan.

Image

Akhirnya, bisnis kue kering dan tumpeng yang sempat  Astri jalankan di Gosford, berlanjut lagi. Namun kali ini berkembang jauh lebih besar. Tidak hanya kue kering dan tumpeng, tapi juga merambah ke jenis makanan lainnya, mulai dari lauk-pauk, aneka macam jajanan pasar, minuman tradisional (es cendol, wedang ronde, dll), rujak, bubur manis, bahkan sampai ke es krim tradisional.

Keberadaan empat anak di rumah mereka ternyata tidak mengganggu aktivitas bisnis katering Astri. Demikian pula salah satu talenta lainnya, bisnis studio desain, yang sudah ia buka sejak tahun 2000. Meskipun untuk yang terakhir ini, sejak setahun lalu, jumlah klien terpaksa harus ia batasi supaya kedua bisnis bisa tetap berjalan lancar.

Dan dalam jangka waktu satu-dua tahun ke depan, Astri merencanakan membuka sebuah resto Indonesia di bumi Australia.

Semoga semakin sukses menjadi duta kuliner nusantara. Tetaplah menjadi inspirasi bagi bumi pertiwi.

(sumber foto: koleksi pribadi Astri Nugraha)

Zubaidah Djohar: Penguntai kata indah nan penuh makna

Image

Hadirin dibuat terpana. Jarang sekali mereka mendengar ini. Sejumput kata dalam untaian puisi penuh makna meluncur indah. Tak hanya indah, namun cahaya kemanusiaan terasa terang memancar dalam ruang pendengaran siapapun yang hadir.

Setelah hampir setahun bermukim di Australia, baru untuk pertama kalinya saya mendengar ada penulis, penyair, dan pelantun kata-kata indah-bermakna. Tepatnya ia ada di dekat kita.

Sang penyair itu bernama Zubaidah Djohar. Dalam sebuah ‘wawancara’, secara rendah hati ia menyebut diri sebagai seorang penulis. Namun ketika dikejar lebih jauh, jati dirinya yang lebih presisi adalah peneliti, penulis, sastrawati dan penggiat kemanusiaan.

Zubaidah mungkin seorang yang rendah hati. Namun ia ternyata banyak menorehkan kontribusi. Pelbagai hasil penelitiannya yang bertema sosial-politik dan perdamaian telah meninggalkan rekam jejak di beberapa buku dan jurnal.

Tak hanya itu, ia aktif mengisi pelatihan kepemimpinan politik dan perdamaian di Aceh. Dan kita semua tahu betapa mahal harga perdamaian di bumi Serambi Mekah. Sedikit banyak, Zubaidah mungkin telah berbagi di sana.

Lebih jauh, karya ilmiah dan puisi-puisinya tersebar di berbagai media cetak dan elektronik, seperti Kompas dan Serambi Indonesia. Luar biasa.

Image

Saat ini, Zubaidah tengah mempersiapkan penerbitan novelnya yang berlatar Aceh. Sebuah novel yang saya yakin banyak dinanti. Sementara belum lama ini, Februari 2012 lalu tepatnya, ia telah melahirkan sebuah antologi puisinya yang berjudul ‘Pulang, Melawan Lupa’.

Khusus untuk ‘Pulang, Melawan Lupa’, Canberra mendapatkan kehormatan karena pada tanggal 1 Mei, di ANU, Law Sparke Helmore T2, kota tersebut akan mendengarkan langsung dari Zubaidah. Termasuk apapun isi hatinya.

Selamat kepada Zubaidah. Selamat kepada rakyat Aceh. Selamat kepada Indonesia. Jumputan kata indah nan penuh makna dalam untaian puisi tersebut, insya Allah, akan lekang, menumbuhkembangkan rasa kemanusiaan.

Bagi siapapun. Sampai kapanpun.

Wieke Gur: Duta Bahasa Indonesia di Barat Australia

Image

Dari penata kata:

Kecintaan kita akan lagu biasanya ditentukan dua hal: nada (notasi) dan kata (lirik).

Dalam kaitan itu, khususnya dalam konteks Indonesia, tidak banyak pencipta lirik yang diingat para pencinta musik. Wieke Gur mungkin termasuk dalam kategori yang tidak banyak itu.

Di era 1980an, lirik-lirik buah karya Wieke begitu populer. Kalau kita ingat sebagian lagu yang dinyanyikan, misalnya Elfa’s Singers dan Harvey Malaiholo, sungguh luar biasa. Mengena dan begitu selaras dengan rangkaian nada yang diciptakan musisi legendaris, Elfa Secioria (almarhum).

Sampai saat ini, Wieke telah menghasilkan sekitar 50 buah lagu. Sebagian bahkan mendapatkan penghargaan nasional dan internasional.

Pada tahun 2009, ia menerbitkan “Jatuh Cinta Lagi”, sebuah buku yang berisi latar belakang penciptaan lirik-lirik lagunya yang fenomenal.

Wieke saat ini menetap di Perth, di belahan barat Australia. Ia menjadi konsultan bisnis dan pemasaran. Namun ia tetap berupaya mempromosikan Bahasa Indonesia, bahasa yang begitu ia cintai.

Di bawah ini adalah tulisan Wieke mengenai pentingnya kita, bangsa Indonesia, untuk mendalami bahasa ibu pertiwi. Tanpa henti.

Kepada Mbak Wieke, semoga selalu sukses. Teruslah menjadi duta bahasa ibu pertiwi. Teruslah menjadi duta untuk mengangkat nama negeri. ***

Siapa yang Seharusnya Belajar Bahasa Indonesia?

Bahasa Indonesia di Luar Negeri

Ketika Presiden Amerika Barack Obama mengunjungi Departemen Luar Negeri AS pada hari kedua pelantikannya dan menyapa seorang karyawannya dalam Bahasa Indonesia, peristiwa itu diberitakan ramai-ramai di Indonesia. Seluruh Bangsa Indonesia merasa bangga bahwa seorang Presiden Amerika bisa berbicara dalam Bahasa Indonesia. Walaupun yang diucapkannya hanya “Terima kasih. Apa kabar?”

Ketika Pemerintah Daerah Ho Chi Minh City, Vietnam mengumumkan Bahasa Indonesia menjadi bahasa kedua secara resmi pada bulan Desember 2007, kita semua menyambut gembira berita itu karena merasa disejajarkan dengan Bahasa Inggris, Perancis dan Jepang.

Ketika Bahasa Indonesia tidak lagi populer di Australia, kita merasa sedih, marah dan kecewa. Padahal sampai tahun 1990-an bahasa Indonesia adalah salah satu bahasa asing yang paling populer di Australia. Banyak sekali sekolah menengah mengajarkan Bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua. Kini, popularitas Bahasa Indonesia di mata para pelajar Australia berada di bawah Bahasa Jepang dan Cina. Jumlah kolese dan sekolah lanjutan yang mengajarkan Bahasa Indonesia pun makin sedikit. Akibatnya banyak universitas yang harus menutup departemen Bahasa Indonesia. Hal ini tidak hanya meresahkan banyak guru dan dosen Bahasa Indonesia karena harus kehilangan pekerjaan tapi juga pemangku kepentingan diplomasi Republik Indonesia di Australia.

Bahasa Indonesia di Indonesia

Bagaimana keadaannya di Indonesia? Ternyata meski digunakan setiap hari, masih banyak masyarakat yang tidak menguasai Bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mata pelajaran Bahasa Indonesia sangat kurang diminati para siswa. Hasil Ujian Nasional selalu menunjukkan banyaknya siswa yang memiliki nilai ujian Bahasa Inggris yang lebih tinggi dibandingkan dengan nilai ujian Bahasa Indonesia. Di antara 6 mata pelajaran yang diujikan, Bahasa Indonesia menempati peringkat tersusah untuk dipelajari.

Masyarakat Indonesia yang tinggal di luar negeri pun bahkan lebih banyak lagi yang tidak memedulikan keindahan Bahasa Indonesia.

Mungkin banyak yang tidak menyadari bahwa salah satu faktor pemelihara persatuan bangsa adalah bahasa. Bagi generasi sekarang, persatuan yang diperjuangkan oleh pimpinan terdahulu mungkin tidak akan terlalu terasa magisnya. Kesaktian Sumpah Pemuda bisa jadi cukup sulit untuk dipahami karena Indonesia sudah bersatu dan Bahasa Indonesia sudah menjadi bahasa persatuan ketika mereka lahir. Kalau Anda menjadi diplomat di luar negeri atau tinggal di luar negeri mungkin baru akan terasa bahwa Bahasa Indonesia mampu menghadirkan rasa persatuan di kalangan warga negara Indonesia.

Almarhum Anton M. Moelyono pernah berkata, “Sebuah bahasa berpeluang menjadi bahasa internasional karena kecendekiaan dan kemahiran para penutur itu berbahasa”.

Kita selalu merasa bangga dan senang bukan kepalang kalau orang asing mampu berbicara dan menganggap penting Bahasa Indonesia. Sebaliknya kita tidak merasa terganggu ketika sebagian dari kita tidak mahir berbahasa Indonesia.

Jadi sebetulnya siapa yang seharusnya belajar bahasa Indonesia?

*** Wieke Gur (www.wiekegur.com) adalah seorang konsultan pemasaran, pencipta lagu dan pencinta Bahasa Indonesia.

(foto: komunitas.com)